Yogyakarta – Ada kecenderungan para akademisi saat ini lebih mementingkan nilai-nilai pragmatis daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Kegiatan pengajaran dan penelitian hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan melalui proyek-proyek daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
Padahal tugas utama seorang akademisi adalah melakukan refleksi kritis dan mempertahankan nilai-nilai abstrak pada zamannya seperti kebenaran, keadilan, dan rasio. Ada banyak nilai-nilai yang dipunyai para akademisi semakin memudar karena mereka lebih banyak mengejar kepentingan pragmatis.
Hal itu diungkapkan sosiolog Fakultas Ilmu Sosial Poltik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Heru Nugroho dalam pidato pengukuhan guru besar di Balai Senat, UGM, Selasa (14/2/2012).
“Tidak mengherankan jika muncul istilah dosen asongan yang kerja di luar kampus dan menjadikan kerja kampus justru sambilan,” kritik Heru Nugroho.
Heru dalam pidato pengukuhan menyampaikan pidato berjudul “Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam”. Menurutnya hal tersebut telah menciptakan fenomena klobotisme di kalangan akademisi atau hanya sekadar barang pembungkus saja serta menciptakan kegiatan akademik yang involutif. Banalitas intelektual merupakan fenomena yang merebak dan mengingkari dunia pendidikan tinggi yang ditandai dengan sejumlah indikator.
Salah satunya, kata dia, menguatnya pengkhianatan akademik yang membuat para akademisi mementingkan nilai pragmatis daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Para akademisi yang mengejar kepentingan pragmatis membuat tugas utama akademisi untuk mempertahankan kebenaran, keadilan, dan rasio makin memudar.
“Ini juga memunculkan ‘dosen asongan’, yaitu dosen yang tidak menjalankan tugas utamanya melainkan menggunakan alat akademik untuk kepentingan ekonomi politik dosen yang bersangkutan,” katanya.
Hal lain, maraknya intelektual pamer yang muncul dalam acara talkshow terkait masalah yang populer di televisi. Akademisi ikut terbius untuk tampil dan cenderung narsistik untuk tampil di televisi dan melahirkan intelektual instan.
“Mereka akhirnya menjadi bagian dari fenomena klobotisme yang hanya ikut meramaikan hiruk pikuk pergunjingan politik elite,” kata staf pengajar jurusan Sosiologi itu.
Akibatnya lanjut Heru, kritik-kritik akademisi yang dilontarkan kurang memiliki kekuatan emansipatoris karena para akademisi yang mengkritik bertujuan menjadi bagian yang dikritik. Pengkritik itu kemudian mendapat julukan ‘ahli’ untuk selanjutnya ditarik menjadi menteri, wakil menteri atau staf ahli dan jabatan yang lain.
“Itu semua tidak menghasilkan apa pun secara akademik kecuali realisasi hasrat kuasa pragmatis. Akademisi bahkan jadi aktor menerapkan kebijakan pemerintah yang mengorbankan rakyat kecil,” tegasnya. Heru mencontohkan, macam-macam atribut dan profesi yang disandang oleh akademisi tipe ‘asongan’ seperti staf ahli, staf khusus, konsultan, direktur, deputi, konsultan lembaga donor internasional dan sebagainya menjadikan mereka tidak lagi menjadi intelektual kampus. Namun hanya menggunakan alat-alat akademik demi kepentingan ekonomi politik mereka.
Intelektual tipe tersebut pada akhirnya bukan memberikan eksplanasi kritis-reflektif. Tetapi justru membela mati-matian secara defensif pihak yang memberinya posisi.
“Contohnya saya pernah menjadi konsultan pembangunan di pemerintahan, akibatnya saya menjadi ambigu dalam bersikap maupun dalam membuat rekomendasi yang saya formulasikan, terutama bila dikaitkan dengan persoalan yang sedang dialami rakyat. Saya menjadi tidak bisa membela penuh kepentingan rakyat,” katanya.
Heru menambahkan di dalam perguruan tinggi tersebut kemudian muncul kegiatan akademik yang involutif. Salah satu indikatornya jumlah penelitian semakin banyak tetapi hasilnya kurang terasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, diskursus politik kampus lebih menarik daripada wacana penelitian dan diskusi akademik.
“Contohkan kalau ada pemilihan rektor atau dekan, pasti ada mobilisasi dari para calon. Ironisnya, jabatan struktural-administrasi jadi tolok ukur keberhasilan dosen, seperti halnya pilkada,” tegas Heru.
Menurut dia, dosen yang bergelar profesor dan doktor seharusnya lebih banyak mencurahkan waktu untuk aktivitas ilmiah. Di UGM, jumlah guru besar aktif saat ini mencapai 274 orang, emeritus 35 orang, dan luar biasa 1 orang, dan dosen bergelar doktor sebanyak 856 orang. Hingga tahun 2010, jumlah buku yang dihasilkan para dosen adalah 162 buah saja dan bisa dianggap sebagai bagian fenomena banalitas.
Buku maupun jurnal yang diterbitkan hanya untuk mengejar kenaikan pangkat, jabatan akademik, dan menimbulkan sindroma formalisme. “Jurnal yang diterbitkan hanya sebagai jurnal masturbasi yang dibuat sendiri untuk kepentingan sendiri,” tuturnya.
Menurut Heru, semangat kerja dan asketisme akademik yang militan dari seorang dosen juga jauh dari harapan. Militansi ilmuwan sosial di Indonesia masih rendah sehingga penelitian yang dihasilkan tidak memadai. Ilmuwan sosial Indonesia mati dalam habitat subur pengetahuan dan problem sosial. “Mereka malah menghabiskan waktu pada aktivitas bersifat proyek,” tegasnya.
Heru menegaskan banalitas intelektual ini juga terintervensi negara yang memperlakukan universitas dalam subordinasi kekuasaan negara yang berakibat pada birokratisasi pendidikan. Di berbagai kebijakan penelitian pemerintah, dikondisikan pemerataan dana penelitian sehingga banyak penelitian di bawah standar. “Itu semua akibat dari politik penguasaan anggaran penelitian oleh negara dengant tujuan mengontrol universitas,” tutup Heru.